Konon, pengetahuan farmasi telah dikenal sejak jaman Mesir purba sekitar 5000
tahun lalu dan dipercaya akan tetap hidup sepanjang peradaban manusia. Pada
kenyataan, semakin maju derajat kehidupan suatu bangsa, kian banyak tuntutan
akan jaminan kesehatan dan makin tinggi pula permintaan akan peran kefarmasian,
sebagai pihak yang memberikan penjaminan kualitas produk dan memberikan jasa
layanan kesehatan kepada masyarakat.
Dalam sejarah perkembangannya, iptek farmasi telah melampaui lima generasi. Diawali dengan generasi pertama penggunaan obat asal bahan alam, terutama tanaman herbal, beralih ke generasi kedua penggunaan bahan hasil sintesis kimia organik sejak abad ke-19, lalu generasi ketiga berupa penggunaan antibiotika di masa perang dunia di pertengahan abad ke-20. Menjelang akhir abad ke-20 lahir generasi keempat, yaitu penggunaan obat berbasis bioteknologi, dan pada abad ke-21 ini telah lahir generasi ke-5 berupa penggunaan sel punca (stem cells) sebagai “spare part” yang diambil dari tubuh pasien dan disimpan jauh hari sebelum ia menderita sakit.
Saat ini kelima generasi tersebut berjalan dalam waktu bersamaan, saling melengkapi dengan masing-masing keunggulannya, dan tentu saja disertai peringatan yang patut diwaspadai akibat dari masing-masing kelemahan teknologinya. Keadaan demikian telah memunculkan banyak permasalahan iptek yang harus dikuasai para pharmacist dalam melaksanakan pekerjaannya. Banyak ilmu pengetahuan baru yang harus diperdalam demi untuk memberikan jasa pelayanan yang sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini telah dirasakan langsung oleh pengelola perguruan tinggi farmasi, betapa sulitnya menyusun kurikulum yang mampu mengakomodasikan semua kepentingan stakeholders.
Beberapa pimpinan perguruan tinggi berpendapat bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan enentukan pilihan pendidikan sarjana farmasi mana yang dapat diselenggarakan, dengan menentukan : 1) program studi yang berorientasi kepada pendalaman sains dan teknologi, dan/atau 2) program studi yang berorentasi kepada pengayaan talenta dan ketrampilan (talent & skill enrichment) di bidang pelayanan klinik dan komunitas. Kedua program studi tersebut mempunyai cara pendekatan dan cara pembelajaran yang niscaya berbeda, karena pola pembelajaran sains farmasi yang terpaut dengan pohon keilmuan (scientific based education) tentu akan berbeda dengan pola pembelajaran farmasi praktis yang didasarkan pada outcome based education.
Namun meskipun kedua program studi berbeda, pembagian orientasi bidang keilmuan tidaklah dimaksudkan untuk semata-mata memilah bidang pekerjaan, karena pada dasarnya suatu program studi tidaklah identik (satu banding satu) dengan lapangan kerja, dan oleh karena itu tidaklah layak jika pendidikan akademik harus dipilah atau dikotak-kotakkan berdasarkan lapangan kerja. Karena pada kenyataannya, di setiap lapangan pekerjaan kefarmasian sedikit banyak akan terdapat dua ranah pengetahuan tersebut, yakni scientific knowledge dan clinical knowledge. Misalnya di industri farmasi atau di rumahsakit, kedua kompetensi tersebut diperlukan dan berjalan secara saling melengkapi.
Sebelum perguruan tinggi farmasi dapat menarik minat peserta pendidikan pasca sarjana (magister, spesialis) dan pendidikan profesional berkelanjutan (continuing pharmacy education) maka roadmap pendidikan farmasi yang dapat diterapkan di Indonesia sebaiknya disusun secara sederhana seperti gambar di bawah ini.
Dengan demikian sesuai dengan kemampuan sarana dan fasilitas masing-masing, terdapat 3 pilihan penyelenggaraan program studi bagi setiap perguruan tinggi farmasi untuk dapat memilih : 1) menyelenggarakan pendidikan akademik berorientasi sains; 2) menyeleng-garakan pendidikan akademik berorientasi klinik; atau 3) menyelenggarakan dua program studi.
Konsep tersebut disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menaungi legislasi praktek apoteker. Apabila mastery learning terhadap hard skills telah dilakukan pada pendidikan tingkat sarjana maka pendidikan apoteker lebih bersifat pembekalan soft skills untuk menunjang kompetensi manajerial, legal, socio-humanities, ekonomi, lingkungan dan sosio-kultur. Dengan demikian kompetensi generik seorang Apoteker adalah kemampuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan kepada pemakai tentang safety-efficacy-quality suatu produk farmasi ataupun proses pengobatan. Batasan kompetensi tersebut berlaku di semua bidang pekerjaan kefarmasian dan dapat menjadi acuan untuk pemberian legislasi.
Mulai tahun akademik 2006 Sekolah Farmasi ITB memberlakukan dua program studi farmasi, yaitu Program Studi Sains dan Teknologi Farmasi (untuk menghasilkan Sarjana Sains dalam bidang ilmu farmasi) dan Program Studi Farmasi Klinik dan Komunitas (untuk menghasilkan Sarjana Farmasi dalam bidang klinik).
Di samping dapat bekerja dalam bidang profesinya Sarjana Sains dan Teknologi Farmasi berperan dalam melestarikan dan memajukan ilmu pengetahuan farmasi sesuai dengan tuntutan perkembangan iptek, program studi ini mengkaji berbagai aspek yang berhubungan dengan bahan baku dan sediaan farmasi mulai dari pencarian, perancangan, pengembangan hingga produksi dan pengawasan produk jadi.
Sarjana Farmasi Klinik dan Komunitas berperan dalam mengembangkan pengetahuan tentang praktek farmasi klinik sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Program studi ini terfokus kepada ilmu pengetahuan tentang praktek pelayanan farmasi klinik, berorientasi kepada keamanan pasien (patient safety) melalui pelaksanaan pharmaceutical care. Kemampuan yang didukung oleh ketrampilan berkomunikasi dalam memberikan informasi tentang obat, kosmetik, pola hidup sehat, makanan-minuman, bahan berbahaya dan beracun, kepada tenaga kesehatan lain dan kepada masyarakat.
Lulusan kedua program studi tersebut memperoleh bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mendasari kompetensinya untuk dapat bekerja di sektor distribusi, pengawasan mutu, regulasi, riset dan pengembangan, industri bahan baku dan produk farmasi (obat, kosmetik, fitofarmaka, obat tradisonal), makanan-minuman, pestisida, alat dan perbekalan kesehatan (medical materials and devices), rumah sakit, pendidikan,dsb.
Selanjutnya, sarjana tersebut dapat mengikuti Pendidikan Apoteker selama satu tahun sebagai pembekalan generalistik untuk membentuk kompetensi jabatan keprofesian. Pendidikan Apoteker diikuti oleh sarjana yang memerlukan Ijazah Apoteker sebagai syarat pada beberapa pekerjaan kefarmasian tertentu. Ijasah sarjana juga dapat digunakan untuk menempuh jalur pendidikan master ataupun profesi di bidang kesehatan lainnya seperti di laboratorium klinik.
Konsolidasi dosen adalah pekerjaan yang sangat krusial dalam melaksanakan dua program studi secara bersamaan. Diperlukan persiapan untuk mengubah paradigma tenaga akademik sesuai dengan kebutuhan program studi, program riset dan program pengabdian kepada masyarakat. Di bawah ini adalah model yang menggambarkan tiga matra (dimensi) iptek yang mewarnai domain kompetensi seorang dosen farmasi.
Pada model ini seorang dosen memiliki dan menguasai iptek dalam bidang spesialisasinya, ia bekerja untuk meneliti objek ilmiah hingga mampu bertahan pada frontier ilmu penge-tahuan. Sedikit atau banyak, bidang ilmu yang dikuasainya memiliki domain industri, domain klinik dan domain sosial yang dapat dikembangkan ataupun diajarkan.
SARAN UNTUK MEMBANGUN PTF DI INDONESIA
Universitas dan institut adalah lembaga pendidikan tinggi yang hasil utamanya adalah ilmu pengetahuan. Suatu perguruan tinggi dihargai jika mampu menghasilkan ilmu baru yang bermanfaat bagi perkembangan iptek atau produk inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain hasil riset dan produk teknologi, outcome perguruan tinggi farmasi adalah juga kualitas dan jumlah sarjana, apoteker, magister dan doktor, sebagai ukuran keberhasilan dan akibat langsung dari investasi dalam wujud peralatan dan fasilitas.
Berdasarkan bidang unggulannya tiap perguruan tinggi farmasi dapat membangun fasilitas untuk mengembangkan program akademik sebagai suatu upaya untuk memper-tanggungjawabkan outcome yang diperolehnya kepada pemerintah dan/atau masyarakat yang telah turut membiayainya. Dengan peralatan yang tersedia, kegiatan riset yang ada di perguruan tinggi farmasi harus mampu menggerakkan mobilitas dosen agar dapat bekerjasama dengan berbagai institusi riset, baik dari dalam maupun luar negeri. Ketersediaan instrumen mutakhir dan canggih tentu saja akan menjadi daya tarik agar terjadi mobilitas sumberdaya insani, hingga lintas batas kewilayahan; selain itu aktivitas riset harus juga mampu meningkatkan relationships antara universitas dengan industri dan pemerintah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) perlu merumuskan instrumen laboratorium yang esensial dan secara proporsional wajib dimiliki berdasarkan fokus kegiatan perguruan tinggi, serta berupaya untuk dapat membuka peluang kerjasama secara saling melengkapi di antara institusi pendidikan farmasi di Indonesia.
Selanjutnya, APTFI juga dapat menyelenggarakan benchmarking yang dapat diikuti oleh PTF yang berminat. ITB telah merintis langkah awal untuk penyelenggaraan benchmark test, namun disadari bahwa masih perlu mencari cara terbaik untuk standar penyelenggaraan yang sesuai dengan prinsip kesetaraan akademik.
Fakultas ilmu Kesehatan UMMataram
Dalam sejarah perkembangannya, iptek farmasi telah melampaui lima generasi. Diawali dengan generasi pertama penggunaan obat asal bahan alam, terutama tanaman herbal, beralih ke generasi kedua penggunaan bahan hasil sintesis kimia organik sejak abad ke-19, lalu generasi ketiga berupa penggunaan antibiotika di masa perang dunia di pertengahan abad ke-20. Menjelang akhir abad ke-20 lahir generasi keempat, yaitu penggunaan obat berbasis bioteknologi, dan pada abad ke-21 ini telah lahir generasi ke-5 berupa penggunaan sel punca (stem cells) sebagai “spare part” yang diambil dari tubuh pasien dan disimpan jauh hari sebelum ia menderita sakit.
Saat ini kelima generasi tersebut berjalan dalam waktu bersamaan, saling melengkapi dengan masing-masing keunggulannya, dan tentu saja disertai peringatan yang patut diwaspadai akibat dari masing-masing kelemahan teknologinya. Keadaan demikian telah memunculkan banyak permasalahan iptek yang harus dikuasai para pharmacist dalam melaksanakan pekerjaannya. Banyak ilmu pengetahuan baru yang harus diperdalam demi untuk memberikan jasa pelayanan yang sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini telah dirasakan langsung oleh pengelola perguruan tinggi farmasi, betapa sulitnya menyusun kurikulum yang mampu mengakomodasikan semua kepentingan stakeholders.
Beberapa pimpinan perguruan tinggi berpendapat bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan enentukan pilihan pendidikan sarjana farmasi mana yang dapat diselenggarakan, dengan menentukan : 1) program studi yang berorientasi kepada pendalaman sains dan teknologi, dan/atau 2) program studi yang berorentasi kepada pengayaan talenta dan ketrampilan (talent & skill enrichment) di bidang pelayanan klinik dan komunitas. Kedua program studi tersebut mempunyai cara pendekatan dan cara pembelajaran yang niscaya berbeda, karena pola pembelajaran sains farmasi yang terpaut dengan pohon keilmuan (scientific based education) tentu akan berbeda dengan pola pembelajaran farmasi praktis yang didasarkan pada outcome based education.
Namun meskipun kedua program studi berbeda, pembagian orientasi bidang keilmuan tidaklah dimaksudkan untuk semata-mata memilah bidang pekerjaan, karena pada dasarnya suatu program studi tidaklah identik (satu banding satu) dengan lapangan kerja, dan oleh karena itu tidaklah layak jika pendidikan akademik harus dipilah atau dikotak-kotakkan berdasarkan lapangan kerja. Karena pada kenyataannya, di setiap lapangan pekerjaan kefarmasian sedikit banyak akan terdapat dua ranah pengetahuan tersebut, yakni scientific knowledge dan clinical knowledge. Misalnya di industri farmasi atau di rumahsakit, kedua kompetensi tersebut diperlukan dan berjalan secara saling melengkapi.
Sebelum perguruan tinggi farmasi dapat menarik minat peserta pendidikan pasca sarjana (magister, spesialis) dan pendidikan profesional berkelanjutan (continuing pharmacy education) maka roadmap pendidikan farmasi yang dapat diterapkan di Indonesia sebaiknya disusun secara sederhana seperti gambar di bawah ini.
Dengan demikian sesuai dengan kemampuan sarana dan fasilitas masing-masing, terdapat 3 pilihan penyelenggaraan program studi bagi setiap perguruan tinggi farmasi untuk dapat memilih : 1) menyelenggarakan pendidikan akademik berorientasi sains; 2) menyeleng-garakan pendidikan akademik berorientasi klinik; atau 3) menyelenggarakan dua program studi.
Konsep tersebut disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menaungi legislasi praktek apoteker. Apabila mastery learning terhadap hard skills telah dilakukan pada pendidikan tingkat sarjana maka pendidikan apoteker lebih bersifat pembekalan soft skills untuk menunjang kompetensi manajerial, legal, socio-humanities, ekonomi, lingkungan dan sosio-kultur. Dengan demikian kompetensi generik seorang Apoteker adalah kemampuan untuk memberikan jaminan dan perlindungan kepada pemakai tentang safety-efficacy-quality suatu produk farmasi ataupun proses pengobatan. Batasan kompetensi tersebut berlaku di semua bidang pekerjaan kefarmasian dan dapat menjadi acuan untuk pemberian legislasi.
Mulai tahun akademik 2006 Sekolah Farmasi ITB memberlakukan dua program studi farmasi, yaitu Program Studi Sains dan Teknologi Farmasi (untuk menghasilkan Sarjana Sains dalam bidang ilmu farmasi) dan Program Studi Farmasi Klinik dan Komunitas (untuk menghasilkan Sarjana Farmasi dalam bidang klinik).
Di samping dapat bekerja dalam bidang profesinya Sarjana Sains dan Teknologi Farmasi berperan dalam melestarikan dan memajukan ilmu pengetahuan farmasi sesuai dengan tuntutan perkembangan iptek, program studi ini mengkaji berbagai aspek yang berhubungan dengan bahan baku dan sediaan farmasi mulai dari pencarian, perancangan, pengembangan hingga produksi dan pengawasan produk jadi.
Sarjana Farmasi Klinik dan Komunitas berperan dalam mengembangkan pengetahuan tentang praktek farmasi klinik sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Program studi ini terfokus kepada ilmu pengetahuan tentang praktek pelayanan farmasi klinik, berorientasi kepada keamanan pasien (patient safety) melalui pelaksanaan pharmaceutical care. Kemampuan yang didukung oleh ketrampilan berkomunikasi dalam memberikan informasi tentang obat, kosmetik, pola hidup sehat, makanan-minuman, bahan berbahaya dan beracun, kepada tenaga kesehatan lain dan kepada masyarakat.
Lulusan kedua program studi tersebut memperoleh bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mendasari kompetensinya untuk dapat bekerja di sektor distribusi, pengawasan mutu, regulasi, riset dan pengembangan, industri bahan baku dan produk farmasi (obat, kosmetik, fitofarmaka, obat tradisonal), makanan-minuman, pestisida, alat dan perbekalan kesehatan (medical materials and devices), rumah sakit, pendidikan,dsb.
Selanjutnya, sarjana tersebut dapat mengikuti Pendidikan Apoteker selama satu tahun sebagai pembekalan generalistik untuk membentuk kompetensi jabatan keprofesian. Pendidikan Apoteker diikuti oleh sarjana yang memerlukan Ijazah Apoteker sebagai syarat pada beberapa pekerjaan kefarmasian tertentu. Ijasah sarjana juga dapat digunakan untuk menempuh jalur pendidikan master ataupun profesi di bidang kesehatan lainnya seperti di laboratorium klinik.
Konsolidasi dosen adalah pekerjaan yang sangat krusial dalam melaksanakan dua program studi secara bersamaan. Diperlukan persiapan untuk mengubah paradigma tenaga akademik sesuai dengan kebutuhan program studi, program riset dan program pengabdian kepada masyarakat. Di bawah ini adalah model yang menggambarkan tiga matra (dimensi) iptek yang mewarnai domain kompetensi seorang dosen farmasi.
Pada model ini seorang dosen memiliki dan menguasai iptek dalam bidang spesialisasinya, ia bekerja untuk meneliti objek ilmiah hingga mampu bertahan pada frontier ilmu penge-tahuan. Sedikit atau banyak, bidang ilmu yang dikuasainya memiliki domain industri, domain klinik dan domain sosial yang dapat dikembangkan ataupun diajarkan.
SARAN UNTUK MEMBANGUN PTF DI INDONESIA
Universitas dan institut adalah lembaga pendidikan tinggi yang hasil utamanya adalah ilmu pengetahuan. Suatu perguruan tinggi dihargai jika mampu menghasilkan ilmu baru yang bermanfaat bagi perkembangan iptek atau produk inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Selain hasil riset dan produk teknologi, outcome perguruan tinggi farmasi adalah juga kualitas dan jumlah sarjana, apoteker, magister dan doktor, sebagai ukuran keberhasilan dan akibat langsung dari investasi dalam wujud peralatan dan fasilitas.
Berdasarkan bidang unggulannya tiap perguruan tinggi farmasi dapat membangun fasilitas untuk mengembangkan program akademik sebagai suatu upaya untuk memper-tanggungjawabkan outcome yang diperolehnya kepada pemerintah dan/atau masyarakat yang telah turut membiayainya. Dengan peralatan yang tersedia, kegiatan riset yang ada di perguruan tinggi farmasi harus mampu menggerakkan mobilitas dosen agar dapat bekerjasama dengan berbagai institusi riset, baik dari dalam maupun luar negeri. Ketersediaan instrumen mutakhir dan canggih tentu saja akan menjadi daya tarik agar terjadi mobilitas sumberdaya insani, hingga lintas batas kewilayahan; selain itu aktivitas riset harus juga mampu meningkatkan relationships antara universitas dengan industri dan pemerintah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI) perlu merumuskan instrumen laboratorium yang esensial dan secara proporsional wajib dimiliki berdasarkan fokus kegiatan perguruan tinggi, serta berupaya untuk dapat membuka peluang kerjasama secara saling melengkapi di antara institusi pendidikan farmasi di Indonesia.
Selanjutnya, APTFI juga dapat menyelenggarakan benchmarking yang dapat diikuti oleh PTF yang berminat. ITB telah merintis langkah awal untuk penyelenggaraan benchmark test, namun disadari bahwa masih perlu mencari cara terbaik untuk standar penyelenggaraan yang sesuai dengan prinsip kesetaraan akademik.
Fakultas ilmu Kesehatan UMMataram